Pengantar Penerjemah
Akar “Terorisme”
Dalam Perbincangan
Telah banyak ruang
diskusi dan karya ilmiyah yang berusaha mencari sebab-sebab munculnya
terorisme. Sebagian menemukan benang merah terorisme ada pada kemiskinan dan “kebobrokan”
moral. Pertanyaannya sampai seberapa jauh pengaruh kemiskinan dan krisis moral
dalam menyebabkan munculnya terorisme?. Krisis moral dan kemiskinan terkadang
menjadikan orang berbuat kriminal tetapi pada batasan tertentu, tidak
menjadikan tindakannya sebagai ideologi yang mengharuskan dia terus melakukan
teror karena ada semangat “balasan kebaikan” (pahala) atas perbuatannya.
Sesungguhnya yang lebih membahayakan dari terorisme yang
terbatas (baca kriminalitas) adalah gerakan teror yang muncul dari individu dan
kelompok yang mereka sendiri bukanlah orang yang setiap harinya melakukan
kriminal atau pembunuhan akan tetapi mereka berpengang teguh pada sebuah
ideologi. Mereka menjadikan ideologi tersebut sebagai dasar dalam melakukan
gerakan teror dan menjunjung tinggi “nilai-nilai” yang terdapat pada ideologi tersebut.
Terorisme semacam ini akan muncul kapan saja tidak hanya disebabkan karena
balas dendam atau counter attack atas
perbuatan individu atau kelompok lain.[1]
Sebagian berusaha mencari akar terorisme pada kondisi
ekonomi pada negara-negara tingkat tiga yang menurut mereka belum tersentuh
oleh peradaban barat yang “menjunjung tinggi” HAM. Tesis ini mengatakan bahwa
di antara mereka yang tersangkut masalah-masalah terorisme bukanlah dari
kalangan orang kaya atau orang terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan
barat, karena menurut mereka orang kaya dan terpelajar tidak akan melakukan
tindakan picik (teror), apalagi mereka mendapatkan pendidikan HAM di barat.
Inilah yang saya maksudkan dengan ideologi “terorisme”
yang diusung oleh individu atau kelompok dengan berkedok agama. Padahal agama
Islam mengajarkan kebaikan dan keadilan, dan melarang dari perbuatan munkar dan
kejahatan. Karenanya, ketika kita mendengar adanya peristiwa terorisme di
beberapa tempat selalu dikaitkan dengan agama Islam. Tuduhan ini pasti ditolak
mentah-mentah oleh umat Islam dengan mengatakan bahwa Islam memerangi
terorisme. Terkadang tuduhan itu ditujukan kepada sebagian generasi muda Islam
yang mempunyai “ghirah Islamiyah”
yang tinggi tanpa didasari nilai-nilai ajaran Islam yang benar.
Benar, sedikit tulisan yang mengkupas tentang ideologi “perusak”
penyebab perpecahan di antara umat. Ideologi yang berkedok jihad untuk
melegitimasi bombing, hijacking dan aksi teror lainnya.
Sedikit tulisan yang mengupas masalah ini berdasarkan pendapat para ulama yang mu’tabar untuk memadamkan fitnah mereka.
Tuduhan dan serangan terhadap Islam dari musuh-musuh
Islam semakin mengkristal dan bias kepentingan menganggap Islam adalah agama
terorisme. Di pihak lain ketika ada usaha untuk mencari akar terorisme dari
doktrin-doktrin “radikal” yang ditanamkan kepada generasi muda, muncul reaksi
keras dari sebagian umat Islam sendiri dengan berdalih “hilangkan perbedaan
ideologi” dan perkokoh “Wahdah al Ummah”
dalam menghadapi serangan musuh-musuh Islam”.
Jujur, kita memang menginginkan wahwah al Ummat dan segala cara yang dapat merealisasikannya. Akan
tetapi jangan sampai hal ini dijadikan oleh sebagian oknum untuk melindungi
terorisme. Sebagian berpendapat bahwa membuka tabir masalah ini akan mengamcam
kesatuan umat dan masuk dalam kategori ghibah
muharramah serta melemahkan umat Islam itu sendiri. Saya berpendapat
sebaliknya, bahwa ketika kita diam tidak melakukan tahdzir (menyebutkan kesalahan) terhadap gerakan separatisme mulai
dari kepala sampai ekornya, itulah yang akan mengancam tatanan al Wahdah al Islamiyah. “Berbeda dalam
kebenaran lebih baik dari pada bersatu dalam kebathilan”.
Buku yang ada di tangan pembaca tidak membahas tentang
terorisme, akan tetapi buku ini mengupas tentang sebuah ideologi yang memuat
doktrin merasa “paling benar sendiri”. Siapapun orangnya dan apapun alirannya
kalau tidak sepaham dengan mereka maka tergolong kafir, musyrik, sesat, ahli
bid’ah, halal darahnya, wajib diperangi dan lain sebagainya. Pasti
pembaca dapat menangkap sebuah benang merah kaitan terorisme dengan sebuah
ideologi.
Bagian kedua dari buku ini mengupas tuntas tentang
kemiripan -kalau tidak mau dikatakan kesamaan- aqidah antara mereka yang
mengklaim “Ahlussunnah” atau menamakan dirinya “salafi” dengan berdalih al
Qur’an dan hadits serta perkataan “ulama mereka” dengan aqidah Yahudi yang
semua tahu kalau mereka di luar Islam. Bahaya laten pasti lebih berbahaya dari
yang terang-terangan melawan kita. Musuh dalam selimut jelas lebih susah untuk diketahui
dari pada yang mengadakan perlawanan secara frontal. Berarti, kalau ada dua
kelompok yang sama aqidahnya, satu terang-terangan melawan Islam sementara yang
lain mengatasnamakan Islam, siapakah yang lebih berbahaya?
0 komentar:
Posting Komentar