Senin, 30 November 2009

MENCIUM TANGAN ORANG TUA ATAU ORANG ALIM


Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat, yang akan kita sebutkan berikut ini.
Di antaranya, hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya. Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih#.
Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya”#.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut#.
Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.
Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”#.
Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:

وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”#.

Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:

فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)

Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:

فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:

فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari 'Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:

قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)#.

Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.

Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.
Sedangkan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)

berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits#.
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.


Hulul Dan Wahdah al-Wujud Dalam Perspektif Syari'ah

Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm.
al-Hamdulillâh.
al-Shalât Wa al-Salâm ‘Alâ Rasûlillâh.
Telah banyak karya para ulama terdahulu yang mereka tulis dalam menjelaskan kebebasan Ibn ‘Arabi dari akidah hulûl dan ittihâd. Di antaranya, Imam ‘Abd al-Wahhab as-Sya’rani yang telah menulis berbagai karya fenomenal, seperti al-Yawâqît Wa al-Jawâhir, al-Kibrît al-Ahmar dan lainnya. Al-Hâfizh as-Suyuthi menulis sebuah karya dengan judul Tanbîh al-Ghabiyy Fî Tabri’ah Ibn al-‘Arabi. As-Sayyid Musthafa al-Bakri dengan karyanya; al-Suyûf al-Hidâd Fî A’nâq Ahl al-Zandaqah Wa al-Ilhâd. Syaikh ‘Abd al-Ghani al-Nabulsi dengan karyanya; al-Radd al-Matîn ‘Alâ Muntaqish al-‘Ârif Muhyiddin. Syaikh al-Makhzûmi menulis kitab dengan judul Kasf al-Asrâr. Kemudian Ibn Hajar al-Haitami di bagian akhir dalam kitabnya; al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah. Serta masih banyak kitab lainnya dalam bahasan serupa yang telah ditulis para ulama. Ditambah lagi dengan banyak berbagai pujian dari para ulama terkemuka terhadap Ibn ‘Arabi. Ini artinya Ibn ‘Arabi adalah seorang ulama besar yang benar-benar “lurus”, tidak seperti pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa beliau sebagai “pelopor” akidah hulûl dan ittihâd
Buku yang ada di hadapan pembaca ini penulis sajikan bukan untuk menambah terlebih memperluas bahasan para ulama tersebut di atas. Sebaliknya kandungan buku ini tidak lain hanya kutipan-kutipan dari sekian kitab para ulama yang telah membebaskan Ibn ‘Arabi dari akidah hulûl dan ittihâd, termasuk dari berbagai ungkapan Ibn ‘Arabi sendiri. Kutipan-kutipan inipun tak ubah layaknya setetes air dari lautan yang seakan tidak bertepi, ia tidak menawarkan janji untuk dapat menyirami rasa dahaga. Namun buku yang penulis sodorkan ini setidaknya memberikan kontribusi dalam membebaskan Ibn ‘Arabi dari dua akidah tersebut. Paling tidak buku ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari sekian banyak literatur berbahasa Arab dalam membebaskan Ibn ‘Arabi dari akidah hulûl dan wahdah al-wujûd. Inilah niat awal dari penulis ketika hendak membukukan karya ini.
Ada beberapa alasan yang mendorong penulis untuk membukukan karya ini:
Pertama; Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi adalah sosok yang tidak dapat terlepas dari setiap kajian tasawuf. Hampir setiap komunitas kajian tasawuf, dari kajian-kajian tasawuf lingkup terkecil hingga seminar-seminar yang diadakan di berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta (UIN/PTIS) akan menyinggung Ibn ‘Arabi dengan karya-karyanya. Hanya saja yang menjadi keprihatinan penulis bahwa hampir setiap pembicaraan selalu berangkat dari kesimpulan bahwa Ibn ‘Arabi adalah pembawa akidah hulûl dan ittihâd. Sekian banyak literatur yang telah ditulis para ulama dalam membebaskan Ibn ‘Arabi dari dua akidah tersebut selalu diabaikan, bahkan oleh sebagian mereka sama sekali tidak dikenal. Kondisi seperti ini sama sekali tidak memberikan kajian yang berimbang, bahkan sangat tidak proporsional dan sangat subjektif.
Kedua; Beberapa orang yang karena berangkat dari keyakinan bahwa Ibn ‘Arabi pembawa akidah hulûl dan ittihâd, kesimpulan mereka selanjutnya menjadi lebih memprihatinkan. Adanya faham pembagian tasawuf kepada tasawuf Akhlaqi (juga dikenal dengan tasawuf Sunni) dan tasawuf Filosofis adalah pendapat yang lahir dari kesimpulan mereka tersebut. Akibatnya timbul semacam justifikasi yang mengatakan bahwa tasawuf aliran filosofis adalah bagian dari Islam. Menurut mereka tasawuf filosofis ini tidak ubahnya seperti tasawuf Akhlaqi, sebagai bagian dari ajaran Islam. Tentu, kemudian kesimpulan puncak mereka selanjutnya adalah bahwa akidah hulûl dan ittihâd adalah bagian dari akidah Islam. Bagi penulis, pendapat semacam ini sangat merisihkan, karenanya tidak boleh didiamkan.
Ketiga; Ada sebagian faham menyesatkan berkembang di sebagian masyarakat kita menyebutkan adanya dikotomi antara syari’at dan hakekat, atau menurut istilah lain perbedaan antara zhahir dan batin. Kesimpulan semacam ini sedikit banyak memberikan pengaruh kepada prilaku amalan ibadah orang-orang Islam, terutama terhadap sebagian kaum awam. Faham dikotomis ini pula, baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan terbentuknya beberapa firqah yang mengaku sebagai bagian dari Islam tapi tidak peduli dengan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Gejala terakhir ini cukup berkembang, tidak hanya pada lapisan masyarakat bawah tapi juga di kalangan orang-orang berpendidikan, bahkan tidak sedikit dari para akademisi. Dengan alasan bahwa tujuan pengamalan syari’at hanya untuk memperbaiki hati atau wilayah batin, maka hati itu sendiri apa bila sudah baik maka praktek-praktek syari’at yang ada pada wilayah zhahir menjadi tidak penting dan tidak perlu diamalkan.
Keempat; Kritik teks dan penelusuran-penelusuran literal yang paripurna terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi dapat dikatakan sangat minim, terutama dalam bahasa Indonesia. Referensi mereka yang menetapkan konsep hulûl dan ittihâd sebagai keyakinan Ibn ‘Arabi selalu saja merujuk kapada al-Futûhât al-Makkiyyah atau Fushûsh al-Hikam. Mereka mengabaikan adanya ungkapan-ungkapan tanzih (kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya) yang sama sekali berseberangan dengan akidah hulûl dan ittihâd dalam kedua karya Ibn ‘Arabi tersebut, juga dalam karya-karya beliau lainnya. Kemungkinan adanya reduksi atau sisipan-sisipan tangan yang tidak bertanggung jawab dalam dua karya Ibn ‘Arabi tersebut sama sekali tidak pernah diangkat di meja-meja diskusi. Keadaan semacam ini tentu saja kurang sehat dan tidak objektif, setidaknya dalam tinjauan penulis. Karena kondisi semacam ini tidak akan pernah menemukan “kata kunci” untuk meredam kontroversi menyangkut Ibn ‘Arabi dengan akidah hulûl dan ittihâd. Buku yang ada di hadapan pembaca ini mencoba menawarkan kata kunci tersebut.
Kelima; Gejala perkembangan tasawuf pada akhir-akhir ini hampir menyentuh semua level. Hampir semua masyarakat kita mengenal bahkan tidak sedikit yang secara praktis masuk dalam wilayah tasawuf. Tentu saja di sini ada nilai-nilai positif yang mereka dapatkan. Namun kekhawatiran yang kemudian muncul adalah saat tasawuf tersebut disentuh oleh lapisan masyarakat yang benar-benar tidak mengetahui ilmu agama. Seseorang yang tidak dapat membedakan dalam masalah thahârah (bersuci) antara Istinjâ’, Istijmâr, Istibrâ’, Istirkhâ, atau tidak mengetahui tatacara wudlu’ yang benar, air yang harus dipergunakan, hal-hal yang membatalkan wudlu, atau yang terkait dengan masalah shalat serta praktek ibadah lainnya, tentu saja bila orang semacam ini masuk dalam wilayah tasawuf tidak akan mandapatkan banyak manfa’at. Gejala inilah yang belakangan terjadi di sebagian masyarakat kita. Tidak sedikit dari mereka yang hanya ikut-ikutan ingin dibaiat untuk dzikir dalam sebuah tarekat sementara ia belum bisa membereskan tatacara bersucinya. Lebih parah lagi yang membaiat (mursyid) orang-orang awam tersebut juga tidak memiliki ilmu agama yang cukup.
Karena itu konsep mendasar dari penulisan buku ini adalah untuk mengungkapkan tanzîh dalam karya-karya Ibn ‘Arabi. Bahwa akidah tanzîh ini adalah keyakinan mayoritas umat Islam dari masa ke masa, dan dari berbagai generasi ke genarasi. Hampir semua komunitas dari berbagai kalangan dari orang-orang Islam meyakini akidah tanzîh ini. Tidak terkecuali komunitas sufi yang notabene orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, sudah pasti akidah tanzîh ini merupakan keyakinan mendasar mereka. Untuk tujuan ini, pada bagian akhir dari tulisan ini sengaja penulis bahas konsep tanzîh Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menjadi akidah pokok kaum sufi.
Walaupun masalah tanzîh ini cukup luas, karena sebenarnya menyangkut pembahasan sifat-sifat Allah dalam berbagai teks al-Qur’an dan Hadits, namun dengan tanpa mengabaikan urgensi pembahasan itu semua, penjelasan “Allah ada tanpa tempat” adalah yang sangat pokok dan paling urgen untuk penulis diungkap di sini. Kecenderungan timbulnya akidah-akidah tasybîh (akidah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) belakangan ini semakin meluas di sebagian masyarakat kita. Karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu agama pokok, terutama masalah akidah, disadari atau tidak disadari ada beberapa orang yang telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî ‘Iyadl al-Maliki dalam al-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islam-nya (menjadi kafir), sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas…”, “Tuhan tertawa…, tersenyum…, menangis…,” atau “Mencari Tuhan yang hilang…”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan akidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang.
Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H, lihat biografinya dalam al-Durar al-Kâminah, karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, j. 4, h. 198) dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî, h. 588, mengutip perkataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagai berikut:

سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هذِه الأمّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السّاعَةِ كُفّارًا، قَالَ رَجُلٌ: يَا أمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أبِالإحْدَاثِ أمْ بِالإنْكَارِ؟ فَقَالَ: بَلْ بِالإنْكَارِ، يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِالجِسْمِ وَالأعْضَاء (رَواهُ ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ فِي كِتابه نَجْم المُهْتَدِي وَرَجْمُ المُعْتَدِيْ، ص 588)
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amir al-Mu’minin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta meraka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. (Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588)

Dalam kajian terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi, penulis membatasi diri dalam bahasan ungkapan-ungkapan akidah tanzîh yang beliau tulis saja. Penulis sengaja tidak masuk dalam wilayah yang lebih luas. Pembahasan masalah teologi dalam berbagai aspeknya, termasuk istilah-istilah kaum sufi (Musthalahât al-Sûfiyyah) dan takwil-takwil dari perkataan mereka, sama sekali tidak penulis singgung. Namun demikian, khusus tentang Musthalahât al-Sûfiyyah penulis hanya mengungkap secukupnya, termasuk beberapa di antaranya yang ditulis Ibn ‘Arabi sendiri. Masalah Musthalahât al-Sûfiyyah, karena di samping membutuhkan pembahasan yang cukup luas, juga sebenarnya telah diungkap dalam banyak literatur yang sudah matang untuk kita baca, hanya memang umumnya masih dalam bentuk bahasa Arab. Seperti Musthalahât al-Sûfiyyah dalam kitab al-Luma’ karya Abu Nashr as-Sarraj, ‘Awârif al-Ma’ârif karya al-Surâwardi, al-Risâlah karya al-Qusyairi dan lain-lain. Khusus tentang takwil perkatan-perkataan Ibn ‘Arabi lihat al-Yawâqît Wa al-Jawâhir karya Imam ‘Abd al-Wahhab as-Sya’rani dan beberapa kitab lainnya. Kemudian dalam pengutipan pernyataan-pernyataan para ulama, ada beberapa di antaranya sengaja penulis kutip teks aslinya dalam bahasa Arab dan sekaligus terjemahannya. Urgensitasnya adalah untuk memperkuat kebenaran tentang masalah terkait, sekaligus untuk menyodorkannya kepada para pembaca agar dapat menyikapi teks-teks tersebut secara proporsional.
Dan pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis mengutip biografi beberapa sufi terkemuka angkatan pertama dengan pelajaran-pelajaran penting dari berbagai ungkapan mereka, terutama masalah-masalah pokok terkait dengan akidah. Bagian ini cukup penting karena ajaran tasawuf yang berkembang di kemudian hari adalah berasal dari jalur mereka. Dengan demikian kita menjadi benar-benar mengetahui “pragmentasi” secara praktis metode pengamalan ajaran-ajaran tasawuf dari para pemuka tasawuf itu sendiri. Kemudian dari pada itu, penulis menyakini sepenuhnya akan keberadaan “berkah”, bahwa jalan untuk meraih berkah-berkah tersebut sangat banyak, salah satunya dengan mengungkap dan mempelajari pragmentasi kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang-orang saleh adalah sebagai sebab bagi kita, bahwa “karena mereka” kita orang-orang awam yang banyak dosa ini diberi rizki, diberi hujan, dan diberi berbagai karunia lainnya oleh Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

بِهِمْ يُسْقَوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُوْنَ (رَوَاهُ الطّبَرَانِيّ)
“Dengan sebab mereka (para wali Allah), maka orang-orang awam diberi hujan (oleh Allah), dan dengan sebab mereka orang-orang awam tersebut diberi kemenangan...”. (HR. ath-Thabarani).

Para ulama kita berkata: “Bi Dzikr ash-Shalihin Tatanazzal ar-Rahamat...”, artinya; “Dengan sebab menyebut orang-orang saleh maka rahmat-rahmat Allah diharapkan menjadi turun”. Imam Ahmad ibn Hanbal ketika ditanya tentang seorang sufi terkemuka bernama Shafwan ibn Sulaim, berkata: “Dia adalah orang saleh yang dengan disebut namanya maka hujan akan turun...”.
Akhirnya, dengan banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, buku ini semoga memiliki kelebihan dan dapat memberikan siraman serta pencerahan bagi orang-orang yang selalu memegang teguh akidah tanzîh; akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan selalu mengharap ridla Allah serta perlindungan-Nya. Amin
Wa Billâh al-Taufîq.


Penulis,
H. Kholilurrohman Abu Fateh, MA