Selasa, 16 Februari 2010

Para Ulama Telah Menuliskan Berbagai Karya Bantahan Terhadap Muhammad Ibn Abdil Wahhab; Perintis Gerakan Wahhabi


Banyak sekali kitab-kitab karya para ulama Ahlussunnah yang mereka tulis sebagai bantahan terhadap Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran-ajarannya, baik karya-karya yang secara khusus ditulis untuk itu, atau karya-karya dalam beberapa disiplin ilmu yang di dalamnya dimuat bantahan-bantahan terhadapnya, baik yang masih dalam bentuk manuskrip maupun yang sudah turun cetak. Di antaranya adalah karya-karya berikut ini dengan penulisnya masing-masing:

  1. Ithâf al-Kirâm Fî Jawâz at-Tawassul Wa al-Istighâtsah Bi al-Anbiyâ’ al-Kirâm karya asy-Syaikh Muhammad asy-Syadi. Tulisan manuskripnya berada di al-Khizanah al-Kittaniyyah di Rabath pada nomor 1143.
  2. Ithâf Ahl az-Zamân Bi Akhbâr Mulûk Tûnus Wa ‘Ahd al-Amân karya asy-Syaikh Ahmad ibn Abi adl-Dliyaf, telah diterbitkan.
  3. Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
  4. Ajwibah Fî Zayârah al-Qubûr karya asy-Syaikh al-Idrus. Tulisan manuskripnya berada di al-Khizanah al-‘Ammah di Rabath pada nomor 4/2577.
  5. al-Ajwibah an-Najdiyyah ‘An al-As-ilah an-Najdiyyah karya Abu al-Aun Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Salim an-Nabulsi al-Hanbali yang dikenal dengan sebutan Ibn as-Sifarayini (w 1188 H).
  6. al-Ajwibah an-Nu’mâniyyah ‘An al-As-ilah al-Hindiyyah Fî al-‘Aqâ-id karya Nu’man ibn Mahmud Khairuddin yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Alusi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1317 H).
  7. Ihyâ’ al-Maqbûr Min Adillah Istihbâb Binâ’ al-Masâjid Wa al-Qubab ‘Alâ al-Qubûr karya al-Imâm al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1380 H).
  8. Al-Ishâbah Fî Nushrah al-Khulafâ’ ar-Rasyidîn karya asy-Syaikh Hamdi Juwaijati ad-Damasyqi.
  9. al-Ushûl al-Arba’ah Fî Tardîd al-Wahhâbiyyah karya Muhammad Hasan Shahib as-Sarhandi al-Mujaddidi (w 1346 H), telah diterbitkan.
  10. Izh-hâr al-‘Uqûq Min Man Mana’a at-Tawassul Bi an-Nabiyy Wa al-Walyy ash-Shadûq karya asy-Syaikh al-Musyrifi al-Maliki al-Jaza-iri.

Pemahaman Hadits Ini Sering Disalahpahami Oleh Org2 Wahhabi; Masalah Membaca Al-Qur'an Bg Yg Sdh Meninggal [Waspadai Mereka..!!]

Ada sebuah hadits riwayat Imam al-Bukhari yang seringkali dipakai oleh kalangan Wahhabi untuk mengharamkan membaca al-Qur'an di atas kuburan, tepatnya hadits ini disalahpahami oleh mereka. Padahal hadits ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah menghadiahkan pahala bagi orang yang sudah meninggal/membaca al-Qur'an di atas kuburan. Karena masalah kebolehan membaca al-Qur'an bagi yang sudah meninggal sudah sangat jelas dituliskan oleh para ulama. lengkapnya klik di sini http://www.facebook.com/note.php?note_id=184689738329

Bahkan Ibn Taimiyah yang notabene "Imam tanpa tanding" kaum Wahhabi pada banyak tempat dari Majmu' Fatawa-nya menuliskan bahwa pahala bacaan al-Qur'an dari yang masih hidup jika di hadiahkan bagi orang yang sudah meninggal akan sampai kepadanya. Lengkapnya klik di sini http://www.facebook.com/note.php?note_id=186152588329

Hadits riwayat Imam al-Bukhari yang sering disalahpahami oleh orang-orang wahhabi tersebut adalah sabda Rasulullah:

Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil [ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi]


Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah
Kata “fawq” dalam makna zahir berarti “di atas”, dalam penggunaannya kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi saja, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat. Kata fawq dengan disandarkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah. Di antaranya dalam firman Allah:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)

Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya.
Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menjelaskan bahwa pemaknaaan seperti itu; yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-‘Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:

سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى (الأعلى: 1)

juga yang dimaksud dengan firman-Nya:

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (اابقرة: 255)

Karena makna al-‘Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah. Dengan jelas tentang hal ini Ibn Hajar menuliskan: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-‘Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-‘Âli, al-‘Alyy, dan al-Muta’âli”.
Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda.
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18) menuliskan sebagai berikut:

“Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan:“Fulân Fawqa Fulân”, maka artinya si fulan yang pertama (A) lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua (B), bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa ‘Ibâdih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibâdih” (dengan mempergunakan kata jamak)“ (Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 23).

Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl menuliskan sebagai berikut:

“Allah berfirman: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan berfirman tentang para Malaikat:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ (النحل: 50)

Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi. Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah:

يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)

dan firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18). Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan. Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat adalah firman Allah:

وَفَوْقَ كُلّ ذِي عِلمٍ عَلِيْمٌ (يوسف: 76)

Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan.
Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am: 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhâr; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Ghulâm Fawq as-Sulthân” atau “al-Ghulâm Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah. Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat, dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhâfuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Karena sesungguhnya seseorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” (Idlâh ad-Dalîl, h. 108-109).

Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya.
Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan sebagai berikut:

“Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian.
Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.

Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalîfah Fawq as-Sulthân, Wa as-Sulthân Fawq al-Amîr”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulân Fawq Fulân”, maka artinya: “Si fulan (A) kedudukannya di atas si fulan (B)”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilm Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah:

وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ (الزخرف: 32)

artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun:

وَإنّا فَوقَهُمْ قَاهِرُوْنَ (الأعراف: 127)

yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun merasa menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” (Lihat dalam Risâlah Fî Nafy al-Jihah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 9, h. 47).

Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân menuliskan tentang pemahaman kata fawq pada hak Allah, sebagai berikut: “...antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhir Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhâfûna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Innâ Fawqahum Qâhirûn” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai mereka”.

Salah seorang ulama bahasa yang sangat terkenal; az-Zujaji, dalam kitab Isytiqâq Ismâ’ Allâh al-Husnâ menuliskan bahwa makna al-‘Alyy dan al-‘Âli pada hak Allah adalah dalam pengertian menguasai dan menundukan segala sesuatu.
Al-Imâm Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut:

“Makna ke tiga; bahwa pengertian al-‘Uluww adalah al-Ghalabah (menguasai dan menundukan) seperti dalam firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna...” (QS. Ali ‘Imran: 139), artinya: “Kalian dapat menguasai dan menundukan musuh-musuh kalian”. Contoh lainnya seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab: “’Alawtu Qarnî...”, artinya: “Saya telah menguasai teman-teman sebaya saya”. Contoh lainnya firman Allah: “Inna Fir’awna ‘Alâ Fî al-Ardl” (QS. Al-Qashash: 4), artinya: “Fir’aun seorang yang berkuasa, sombong, dan durhaka”. Contoh lainnya firman Allah: “Wa an Lâ Ta’lû ‘Alâ Allâh” (QS. Ad-Dukhan: 19), artinya: “Janganlah kalian sombong atas Allah”. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan Nabi Sulaiman: “An Lâ Ta’lû ‘Alayya Wa’tûnî Muslimîn” (QS. An-Naml: 31), artinya: “Janganlah kalian sombong atasku dan datanglah kalian kepadaku dalam keadaan Islam”.

Demikian pula nama Allah al-‘Alyy diambil dari kata al-‘Uluww dalam pengertian bahwa Allah maha tinggi atau maha agung pada derajat-Nya di atas segala apapun, artinya tidak ada apapun yang lebih agung dari pada Allah. Pengertian al-‘Alyy di sini bukan berarti Allah berada di arah atas, karena Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”.

Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut:

“Allah berfirman: “al-Kabîr al-Muta’âl” (QS. Ar-Ra’ad: 9). Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits tentang nama-nama Allah; telah berkata al-Halimi: Pengertian ayat di atas ialah bahwa Allah Maha Suci dari segala apa yang ada pada makhluk-makhluk-Nya, seperti memiliki istri, anak, anggota badan (baik yang besar maupun anggota yang kecil), mengambil ranjang (tempat) untuk duduk di atasnya, bersembunyi di balik tirai supaya tidak terlihat, pindah dari satu tempat ke tampat lain, dan lain sebagainya. Karena sifat-sifat semacam ini sebagiannya menetapkan adanya bentuk dan penghabisan, sebagian lainnya menetapkan adanya kebutuhan kepada yang lain, dan sebagian lainnya menetapkan adanya perubahan. Sedikitpun sifat-sifat semacam demikian itu sangat tidak layak bagi Allah dan mustahil atas-Nya”.

Al-Imâm al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl dalam menjelaskan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhîm” (QS. Al-Baqarah: 255), firman Allah: “Sabbihisma Rabbik al-A’lâ” (QS. Al-A’la: 1), dan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Saba’: 23), menuliskan bahwa makna-makna itu semua penjelasannya adalah dalam pemahaman ketinggian derajat, keagungan, dan kekuasaan bagi-Nya, bukan dalam pengertian arah atau tempat yang tinggi. Kita semua sepakat dalam memahami makna-makna dari beberapa ayat tentang “Ma’iyyah Allâh”, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntun” (QS. Al-Hadid: 4), dan firman-Nya: “Innallâh Ma’a al-Ladzînattaqau...” (QS. An-Nahl: 128), bahwa makna “Ma’a” dalam ayat-ayat semacam ini bukan dalam pengertian Dzat Allah menyertai setiap makhluk-Nya. Artinya bahwa ayat-ayat ini tidak boleh dipahami secara zahir (literal). Maka demikian pula dalam memahami makna al-‘Alyy, al-‘Âli, atau al-Muta’âli pada hak Allah, itu semua tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Banyak dalil yang menunjukan kepada keharusan memahami makna seperti yang kita ungkapkan di atas, di antaranya firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna...” (QS. Ali ‘Imran: 139), juga firman Allah tentang Nabi Musa “Lâ Takhaf Innaka Anta al-A’lâ” (QS. Thaha: 68), serta firman Allah: “Wa Kalimatullâh Hiya al-‘Ulyâ” (QS. At-Taubah: 40). Ayat-ayat ini semua sama sekali bukan untuk menunjukan tempat dan arah atas, tetapi yang dimaksud adalah ketinggian kedudukan dan martabat (Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, h. 110-111).

Ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi dalam tafsirnya dalam penjelasan makna firman Allah: “Wa Annallâh Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Al-Hajj: 62) menuliskan sebagai berikut:

“al-‘Alyy artinya bahwa Allah maha menguasai atas segala sesuatu, Dia Maha Suci dari segala keserupaan dan penentang, dan Maha Suci dari segala pernyataan orang-orang kafir yang mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak sesuai bagi keagungan-Nya.
Al-Kabîr artinya bahwa Dia Allah yang maha agung dan maha besar dalam derajatnya, (bukan dalam makna bentuk). Menurut pendapat lain, makna al-Kabîr adalah bahwa Dia Allah yang memiliki segala kesempurnaan. Artinya bahwa wujud Allah itu mutlak; Dia ada tanpa permulaan (al-Qadîm al-Azaliy) dan tanpa penghabisan (al-Bâqî al-Abadiy)” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 12, h. 91).

Al-Imâm Abu al-Qasim al-Anshari an-Naisaburi dalam kitab Syarh al-Irsyâd; sebuah kitab teologi Ahlussunnah karya Imam al-Haramain, menuliskan pasal khusus dalam penjelasan makna-makna tentang sifat-sifat Allah yang kita sebutkan. Simak tulisan beliau berikut ini:

“Pasal; Tentang makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Kibriyâ’ dan al-Fawqiyyah. Seluruh orang Islam telah sepakat bahwa Allah maha agung. Dia lebih agung dari segala sesuatu yang agung. Dan makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Izzah, ar-Rif’ah, dan al-Fawqiyyah (pada hak Allah) semuanya memiliki satu pengertian, yaitu bahwa Dia Allah maha memiliki segala sifat kesempurnaan dan segala sifat kesucian. Artinya bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya, maha suci dari memiliki sifat-sifat benda, suci dari kebutuhan, suci dari kekurangan. Dan hanya Dia Allah yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat Qudrah (Kuasa) yang mencakup atas segala sesuatu (dari Jâ’iz ‘Aqliy), sifat Irâdah (Kehendak) yang akan terlaksana bagi segala sesuatu yang ia kehendaki-Nya, sifat ‘Ilm (Mengetahui) yang mencakup atas segala sesuatu dari makhluk-Nya, maha memiliki sifat al-Jûd dan sifat ar-Rahmah, maha pemberi segala nikmat, maha memiliki sifat as-Sama’, al-Bashar, al-Qawl al-Qadîm (sifat kalam yang bukan berupa huruf, suara dan bahasa), dan maha kekal”.

Keyakinan ini juga dipegang teguh oleh para Masyâyikh al-Azhar Cairo Mesir, antar generasi mereka ke generasi berikutnya hingga sekarang ini. Hanya beberapa gelintir oknum saja yang terkena faham tasybîh, dan itupun terjadi belakangan ini ketika faham-faham Wahhabiyyah merebak. Kita dapat pastikan bahwa pemegang tumpuk keilmuan di al-Azhar, atau yang dikenal dengan gelar Syaikh al-Azhar, dari generasi ke generasi di dalam akidah mereka semua memiliki faham Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas rintisan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Para Masyâyikh al-Azhar sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Di antara bukti atas itu adalah majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar sendiri, pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la menuliskan sebagai berikut: “al-A’lâ adalah salah satu sifat Allah, yang dimaksud dengan al-‘Uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.

Kemudian pada halaman berikutnya dalam majalah al-Azhar pada edisi yang sama dituliskan sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para ulama Salaf telah sepakat bahwa al-‘Uluww pada hak Allah mustahil maknanya dalam pengertian tempat yang berada di arah atas. Hal ini berbeda dengan faham sebagian orang bodoh yang sesat yang sama sekali tidak memiliki pegangan dalam permasalahan ini. Padahal sesungguhnya seluruh ulama, maupun ulama Salaf maupun ulama Khalaf, sepakat bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya”.

Sabtu, 23 Januari 2010

Aqidah Ulama Indonesia; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH (Mewaspadai Ajaran Wahhabi)


Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:

1. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897).
Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm.282 ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7):

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Sebagai berikut:

"وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ...".

“Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….”

2. Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi. Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah (arah)…”.

3. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai berikut:
“…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”
Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”.

4. K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut:

"وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ...".

Maknanya: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”.

5. K.H.Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut:

وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ
فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ

“Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”.

6. K.H.Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hlm.18, sebagai berikut:
“…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa).

7. K.H. Siradjuddin Abbas (W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”.

8. K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994), Pendiri Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten dipun wengku dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat…” (Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3).

9. K.H. Choer Affandi (W.1996), pendiri P.P. Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat) baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”.

Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah


Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)

“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)

Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:

“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).

Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.

Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:

“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى

”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:

“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:

“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه

”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:

يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ

”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:

“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;

Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.

Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.

Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah.

Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).

KESIMPULAN: Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.

Jangan Salah Memahami Hadits Ini, Orang2 Wahhabi Mengkafirkan Banyak Orang Islam Karena Salah Memahami Hadits Ini, Hattiii2..!!!


Hadits yang kita maksud adalah sabda Rasulullah:

" من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك " رواه الترمذي

Hadits ini sering disalahpahami oleh sebagian orang hanya karena membaca zhahirnya saja tanpa mengaitkannya dengan ayat atau hadits-hadits lain yang terkait. Sehingga mereka memahami bahwa setiap orang yang bersumpah dengan selain nama Allah dihukumi kafir atau musyrik.

Pada dasarnya sumpah seorang hamba yang diperbolehkan dan dianggap sah menurut syara' adalah dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifat-Nya. Sedangkan Allah ta'ala bersumpah dengan makhluk yang Ia kehendaki. Asy-Sya'bi mengatakan:

" الخالق يقسم بما شاء من خلقه، والمخلوق لا يقسم إلا بالخالق، والله أقسم ببعض مخلوقاته ليعرفهم قدرته لعظم شأنها عندهم ولدلالتها على خالقها ولتنبيه عباده على أن فيها منافع لهم كالتين والزيتون".

" Allah bersumpah dengan makhluk yang Ia kehendaki, sedangkan makhluk tidak bersumpah kecuali dengan sang Khaliq. Allah ta'ala bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan hamba atas kekuasaan-Nya karena sangat agungnya makhluk tersebut di mata para hamaba, dan karena makhluk tersebut membuktikan wujud penciptanya, juga untuk mengingatkan hamba bahwa pada makhluk-makhluk tersebut terdapat banyak manfaat bagi mereka seperti buah Tin dan Zaytun".

Sedangkan makna hadits tersebut yang sebenarnya adalah seperti diuraikan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari:

" قال الشافعي: أخشى أن يكون الحلف بغير الله معصية –ومعناه أنه مكروه كراهة شديدة-، وقال إمام الحرمين: المذهب القطع بالكراهة، وجزم غيره بالتفصيل، فإن اعتقد في المحلوف به من التعظيم ما يعنقده في الله حرم الحلف به وكان بذلك الاعتقاد كافرا وعليه يتنزل الحديث المذكور، وأما إذا حلف بغير الله لاعتقاده تعظيم المحلوف به على ما يليق به من التعظيم فلا يكفر بذلك ولا تنعقد يمينه " ا.هـ .

"Al Imam asy-Syafi'i mengatakan: Aku takut bahwa bersumpah dengan selain Allah adalah maksiat (maksud beliau adalah makruh dengan kemakruhan yang sangat). Imam al Haramain mengatakan: Madzhab Syafi'i dengan pasti menyatakan makruh. Sedangkan selain imam al Haramain merinci masalah ini bahwa jika orang yang bersumpah tersebut meyakini pengangungan terhadap yang disebut dalam sumpahnya seperti halnya ia mengagungkan Allah haram baginya bersumpeh seprti itu dan dengan keyakinan tersebut ia menjadi kafir dan inilah maksud hadits tersebut. Sedangkan jika ia hanya meyakini pengagungan terhadap yang disebutnya seperti pengagungan yang layak bagi dia, orang tersebut tidak kafir dan tidak jadi sumpahnya".

Larangan untuk bersumpah dengan selain Allah ini adalah bermakna karahah, bukan tahrim, dengan dalil beberapa hadits Nabi, di antaranya sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:

" أفلح – وأبيه – إن صدق "

Maknanya: "Dia beruntung –demi ayahnya- jika ia benar dalam perkataanya tersebut".

Bahkan suatu ketika 'Umar bersumpah dengan nama ayahnya dan terdengar oleh Nabi, Rasulullah hanya melarang perbuatan Umar dengan mengatakan:

" ألا إن الله ينهاكم أن تحلفوا بآبائكم، فمن حلف فليحلف بالله أو ليصمت" رواه البخاري ومسلم والدارمي وأحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه

Maknanya: "Sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan (menyebut) bapak-bapak kalian, jadi barangsiapa mau bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah atau jika tidak hendaklah ia diam" (H.R. al Bukhari, Muslim, ad-Darimi, Ahmad dan Ashab as-Sunan)

Anda lihat... Rasulullah tidak mengatakan kepada Umar: "Engkau telah musyrik..!!!". Anda katakan kepada orang2 Wahhabi yang biasa mengkafirkan secara mutlak orang yang bersumpah bukan dengan nama Allah: "Apakah anda mau mengkafirkan sahabat Umar?", mereka akan terdiam...

Dengan demikian, bersumpah dengan nama Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dikecualikan dari larangan tersebut, karena Allah telah bersumpah dengannya dalam ayat:

لعمرك إنهم لفي سكرتهم يعمهون

Dalam ayat ini Allah bersumpah dengan kehidupan Rasul-Nya, sebagaiman dinyatakan oleh mayoritas ahli tafsir dari kalangan ulama salaf dan khalaf. Karenanya Imam Ahmad ibn Hanbal menyatakan dalam salah satu riwayat dari beliau bahwa boleh bersumpah dengan Nabi dan orang yang melanggar sumpahnya dengan menyebut nama Nabi wajib melaksanakan kaffarahnya. Al Hafizh as-Suyuthi mengatakan dalam kitabnya al Iklil fi Istinbath at-Tanzil tentang ayat tersebut:

" واستدل بها أحمد بن حنبل على أن من أقسم بالنبي صلى الله عليه وسلم لزمته الكفارة " ا.هـ .

" Ayat ini dijadikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai dalil bahwa orang yang bersumpah dengan Nabi Wajib membayar kaffarat (jika melanggarnya) ".
Ini dikarenakan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam adalah salah satu dari bagian dua syahadat yang tidak sah iman seseorang tanpa-nya.

Minggu, 20 Desember 2009

Dasar Pengacau... Masa Berdzikir Dengan Berjama'ah Dibilang Bid'ah Juga!!!! (Mendudukan Persoalan Dengan Dalil)


Ada salah satu sekte menyebar di masyarakat kita, mereka menamakan diri "salafi", padahal sebenarnya nama yang cocok bagi mereka adalah "talafi" (perusak). Jargon yang biasa mereka bawa adalah "basmi TBC", "perangi segala macam bid'ah", "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dan kata-kata "manis" lainnya. Salah satu yang sering dapat serangan dari mereka adalah masalah yang sebenarnya "bukan masalah", tapi mereka ungkit-ungkit untuk membuat keributan. ngaku memrangi "TBC" tapi sebenarnya mereka sendiri membawa "TBC". Waspada!!!!!!

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan jalan untuk mendapatkan pahala dari Allah, jika memang tidak dibarengi dengan perkara-perkara yang diharamkan. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan tentang ini sangat banyak, di antaranya: (Lihat an-Nawawi, Riyadl ash-Shalihin, hal. 470-473)

1. Rasulullah bersabda:

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم)

“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan bardzikir menyebut Nama-nama Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”. (HR. Muslim)

2. al-Imam Muslim dan al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: مَا يُجْلِسُكُمْ ؟ قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ وَنَحْمَدُهُ، فَقَالَ: إِنَّهُ أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ اللهَ يُبَاهِيْ بِكُمْ الْمَلاَئِكَةَ (أخرجه مسلم والترمذيّ)

“Suatu ketika Rasulullah keluar melihat sekelompok sahabat yang sedang duduk bersama, lalu Rasulullah bertanya: Apa yang membuat kalian duduk bersama di sini? Mereka menjawab: Kami duduk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya, kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh Aku didatangi oleh Jibril dan ia memberitahukan kepadaku bahwa Allah membanggakan kalian di kalangan para Malaikat”. (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

3. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لاَ يُرِيْدُوْنَ بِذَلِكَ إِلاَّ وَجْهَهُ تَعَالَى إِلاَّ نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ (أخرجه الطّبَرانِيّ)

“Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir, dan mereka tidak berharap dengan itu kecuali untuk mendapat ridla Allah maka Malaikat menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan sudah terampuni dosa-dosa kalian”. (HR. ath-Thabarani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum, di antaranya adalah hadits Qudsi: Rasulullah bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ (متّفق عليه)

“Allah berfirman: “Aku Maha kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadap-Ku”, dan Aku senantiasa menjaganya dan memberikan taufiq serta pertolongan terhadapnya jika ia menyebut nama-Ku. Jika ia menyebutku dengan lirih maka Aku akan memberinya pahala dan rahmat secara sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebut-Ku secara berjama’ah atau dengan suara keras maka Aku akan menyebutnya di kalangan para Malaikat yang mulia”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Makna “Aku Maha kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadap-Ku” artinya; Jika hamba tersebut berharap untuk diampuni maka akan Aku (Allah) ampuni dosanya. Jika ia mengira taubatnya akan Aku terima maka Aku akan menerima taubatnya. Jika ia berharap akan Aku kabulkan doanya maka akan Aku kabulkan. Dan jika ia mengira Aku mencukupi kebutuhannya maka akan Aku cukupi kebutuhan yang dimintanya. Penjelasan ini seperti tuturkan oleh al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki.


Dzikir Berjama’ah Setelah Shalat Dengan Suara Keras

Para ulama telah sepakat akan kesunnahan berdzikir setelah shalat (Lihat an-Nawawi dalam al-Adzkar, h. 70). Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah ditanya: “Ayyuddu’a Asma’u?”. (Apakah doa yang paling mungkin dikabulkan?). Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ، قال الترمذيّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu”. (at-Tirmidzi mengatakan: Hadits ini Hasan)

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjama’ah setelah shalat secara khusus. Di antaranya hadits dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits riwayat al-Imam Muslim disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Abbas berkata:

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ (رواه مسلم)

“Kami mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)” (HR. Muslim)

Kemudian ‘Abdullah ibn ‘Abbas berkata:

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika orang-orang telah selesai shalat fardlu sudah terjadi pada zaman Rasulullah”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah riwayat lain, juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim, bahwa Ibn ‘Abbas berkata:

كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil akan kebolehan berdzikir dengan suara keras, tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Rasulullah dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka:

اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّمَا تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا ...

“Ringankanlah atas diri kalian (jangan memaksakan diri mengeraskan suara secara berlebihan), sesungguhnya kalian tidak meminta kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, kalian meminta kepada yang maha mendengar dan maha “dekat” …”. (HR. al-Bukhari)

Hadits ini bukan melarang berdzikir dengan suara yang keras. Tetapi yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan berjama’ah, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut. Yang dilaraang oleh Rasulullah dalam hadits ini bukan berdzikir secara berjama’ah, melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.


Doa Berjama’ah

Rasulullah bersabda:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فَدَعَا بَعْضٌ وَأَمَّنَ الآخَرُوْنَ إِلاَّ اسْتُجِيْبَ لَهُمْ (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)

“Tidaklah suatu kaum berkumpul, lalu sebagian berdoa dan yang lain mengamini, kecuali doa tersebut akan dikabulkan oleh Allah”. (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib al-Fihri).

Hadits ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama’ah. Artinya, salah seorang berdoa, dan yang lainnya mengamini. Termasuk dalam praktek ini yang sering dilakukan oleh banyak orang setelah shalat lima waktu, imam shalat berdoa dan jama’ah mengamini.
Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, menuliskan sebagai berikut:

[وَيُسِرُّ بِهِ] الْمُنْفَرِدُ وَالْمَأْمُوْمُ خِلاَفًا لِمَا يُوْهِمُهُ كَلاَمُ الرَّوْضَةِ (إِلاَّ الإِمَامُ الْمُرِيْدُ تَعْلِيْمَ الْحَاضِرِيْنَ فَيَجْهَرُ إِلَى أَنْ يَتَعَلَّمُوْا) وَعَلَيْهِ حُمِلَتْ أَحَادِيْثُ الْجَهْرِ بِذَلِكَ، لَكِنْ اسْتَبْعَدَهُ الأَذْرَعِيُّ وَاخْتَارَ نَدْبَ رَفْعِ الْجَمَاعَةِ أَصْوَاتَهُمْ بِالذِّكْرِ دَائِمًا

“Orang yang shalat sendirian dan seorang makmum agar memelankan bacaan dzikir dan doa seusai shalatnya, -ini berbeda dengan yang dipahami dari tulisan ar-Raudlah-, kecuali seorang Imam yang bermaksud mengajari para jama’ah tentang lafazh-lafazh dzikir dan doa tersebut, maka ia boleh mengeraskannya hingga jama’ah mengetahui dan hafal dzikir dan doa tersebut. Dengan makna inilah dipahami hadits-hadits mengeraskan bacaan dzikir dan doa setelah shalat. Namun al-Imam al-Adzra’i tidak menerima pemahaman seperti ini dan beliau memilih pendapat bahwa sunnah bagi para jama’ah hendaknya selalu mengeraskan suara mereka dalam membaca dzikir (Sesuai zhahir hadits-hadits di atas)” (al-Minhaj al-Qawim, h. 163).

Jangan Sembarangan Mengkafirkan Orang Yang Bertawassul (Mewaspadai Ajaran Wahhabi)


Ada kelompok di masyarakat kita membawa jargon "basmi TBC", mereka menamakan diri "Salafi", saya lebih suka menyebut mereka "Talafi" (Perusak). Kata-kata "manis" yang sering mereka dengungkan; "Kita berangus bid'ah", "Kita hanya mengambil al-Qur'an dan Sunnah", dan lainnya. Banyak perkara-perkara yang telah mapan di kalangan umat Islam oleh mereka "dimejahijaukan", salah satunya adalah masalah tawassul. Seringkali dengan sangat ringan keluar kata-kata dari mulut mereka: "Orang yang tawassul adalah orang kafir". Heh.. Mereka mau mambasmi atau malah menyebarkan "TBC"?!

Berikut ini kita kemukakan dalil-dalil tentang disyari’atkannya tawassul dan istighotsah secara lebih detail :

1. Hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah mengadukan kebutaannya. Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan beliau mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini juga disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa makna:

"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".

Adalah:

"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ...".

Dengan dalil perkataan Nabi di awal hadits:

"إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ".

“Jika engkau mau engkau bisa bersabar, dan jika engkau mau aku akan mendoakan kamu”.
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan !
Jawabannya: bahwa dalam rangkaian hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi benar-benar mendoakan orang buta tersebut, yang disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudlu’, Rasulullah meneruskan ta’lim beliau hingga orang buta tersebut datang kembali dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits tersebut:

"فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ".

“Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Allah kita belum lama berpisah dan belum lama majelis Rasulullah berlangsung hingga orang buta tersebut kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi di awal hadits adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:

"... وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ" أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.

Jadi pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا ) itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi bertawassul dengan Nida’ sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau wali adalah boleh seperti jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :

"مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ" (رَوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم وحسَّنَ إسنادَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).

Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’ dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh, beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ) dan tawassul dengan amal saleh ada pada kata (وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ).

3. Hadits riwayat al Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya:

عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ.

Maknanya: “Paceklik datang di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu karena sungguh mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah dalam melayani ummat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini disahihkan oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا رَسُوْلَ اللهِ). Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ ) maknanya adalah: “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu”, bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Jadi dari sini diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighatsah dengan mengatakan:

" يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ".

Karena maknanya adalah tolonglah aku dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau mara bahaya, beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang sahih:

"اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ".

Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits karena hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Jadi boleh mengatakan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ) dan semacamnya ketika bertawassul, karena keyakinan seorang muslim ketika mengatakannya adalah bahwa seorang nabi dan wali hanya sebab sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan nabi atau wali tersebut.
Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighatsah dengan mengatakan: (يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ) yang mengandung Nida’ dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak mengkafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat-pun yang mengingkarinya.

4. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

"إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ" رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ.

Maknanya: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah” (H.R. ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya terpercaya, juga diriwayatkan oleh al Bazzar dan Ibnu as-Sunni)

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristi’anah dan beristighatsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi Nida’ (memanggil). An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al Adzkar mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu ketika lepas hewan tunggangannya dan beliau mengetahui hadits ini lalu beliau mengucapkannya maka seketika hewan tunggangan tersebut berhenti berlari, Saya-pun suatu ketika bersama suatu jama’ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa sebab kecuali ucapan tersebut”. Ini menunjukkan bahwa mengucapkan tawassul dan istighatsah tersebut adalah amalan para ulama ahli hadits dan yang lainnya.

5. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata kepada Rasulullah:

" أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ عَادٍ"

Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum ‘Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaumnya sendiri yang mengutusnya)” (H.R. Ahmad)

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti’adzah. Dalam hadits ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon perlindungan (beristi’adzah) kepada Allah karena Allah adalah yang dimohoni perlindungan secara hakiki (Musta’adz bihi haqiqi), sedangkan ketika ia memohon perlindungan kepada Rasulullah karena Rasulullah adalah yang dimohoni perlindungan dengan makna sebab (Musta’adz bihi ‘ala ma’na annahu sabab). Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya perkara mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: “Engkau telah musyrik karena mengatakan: (وَرَسُوْلِهِ), karena engkau telah beristi’adzah kepadaku”.

6. Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:

"حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ" رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح

Maknanya: “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian, ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian, jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat ada amal kalian yang buruk aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah” (H.R. al Bazzar dan para perawinya adalah para perawi sahih)

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, memohon didoakan olehnya meskipun beliau sudah meninggal.

7. Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, beliau berkata: Suatu ketika kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: sebutkanlah orang yang paling Anda cintai ! lalu Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu kaki beliau sembuh.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melakukan Istighatsah dengan Nida’ “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ )”. Makna "يَا مُحَمَّدُ" adalah أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى اللهِ: tolonglah aku dengan doamu kepada Allah. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ini menunjukkan bahwa boleh beristighatsah dan bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat, meskipun dengan menggunakan redaksi Nida’, jadi Nida’ al Mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.

8. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :

" رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ".

Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu".
Kemudian Rasulullah bersabda :

"وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الكَثِيْبِ الأَحْمَرِ" أخرجه البخاريّ ومسلم

Maknanya : "Demi Allah, jika aku berada di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Faedah Hadits: Tentang hadits ini al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata dalam kitabnya “Tharh at-Tatsrib”: "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya".
Dan telah menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa ketika mereka menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi’i ketika ada hajat yang ingin dikabulkan seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana dan setelahnya dikabulkan doanya oleh Allah. Abu ‘Ali al Khallal mendatangi kuburan Musa ibn Ja’far. Ibrahim al Harbi, al Mahamili mendatangi kuburan Ma’ruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya “Tarikh Baghdad”. Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :

"وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ".

"Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh ".
Al Hafizh Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj, penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.


HIKAYAH NAFISAH (KISAH TELADAN)

Al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan sebuah kisah dalam kitabnya “Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa” –kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi - bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Yaa Rasulallah, al Juu’ al Juu’ (Wahai Rasulullah! lapar...lapar)”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian".
Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighotsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam. Kisah ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka ini di mata ummat Islam adalah Muwahhidun (Ahli Tauhid), bahkan merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid, sedangkan di mata para anti tawassul mereka dianggap sebagai ahli bid’ah dan syirik. Padahal kalau mau ditelusuri, peristiwa-peristiwa semacam ini sangatlah banyak seperti yang disebutkan sebagian pada dalil ke delapan.

Memakai Hirz Atau Ta'widz Adalah ajaran Dan Tradisi Ulama Salaf; Dengan Dasar Yang Kuat (Mewaspadai Ajaran Wahhabi Yang Mengharamkannya)


Di antara keganjilan golongan Wahabi bahwa mereka mengharamkan memakai hirz yang isi di dalamnya hanya ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir kepada Allah, mereka bahkan memutus hirz-hirz tersebut dari leher orang yang memakainya dengan mengatakan: “ini adalah perbuatan syirik”, terkadang mereka tidak segan-segan memukulnya. Kita katakan: Bagaimana penilaian kalian terhadap sahabat Abdullah ibn 'Amr ibn al 'Ash dan para sahabat lainnya yang telah mengalungkan hirz-hirz tersebut pada leher anak-anak mereka yang belum baligh, apakah kalian akan memvonis para sahabat tersebut dengan syirk ?!!!, lalu apa yang hendak kalian katakan tentang Imam Ahmad, Imam Ibn Mundzir yang telah membolehkan hirz. Cukuplah ini sebagai bukti bahwa kelompok Wahabi ini sesat karena telah menganggap syirik apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf.

At-Tirmidzi dan an-Nasa-i meriwayatkan dari 'Amr ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada kami beberapa kalimat untuk kita baca ketika terjaga dari tidur dalam keadaan terkejut dan takut”, dalam riwayat Isma’il Rasulullah bersabda yang maknanya: “Jika di antara kalian merasakan ketakutan maka bacalah:

" أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وعقابه ومن شر عباده ومن همزات الشياطين وأن يحضرون "

Adalah sahabat Abdullah ibn 'Amr mengajarkan bacaan ini kepada anaknya yang sudah baligh untuk dibaca sebelum tidur dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh kemudian dikalungkan di lehernya”.
Al Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya al Amali [Nata-ij al Afkar, h. 103-104] berkata: “Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ali ibn Hujr, dari Isma’il ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh an-Nasai dari 'Amr ibn Ali al Fallas dari Yazid ibn Harun". Kalaupun Ibn Baaz atau Muhammad Hamid al Faqqi melemahkan hadits ini, maka itu adalah sesuatu yang tidak benar, sama sekali tidak berpengaruh dan tidak perlu diambil karena mereka berdua bukan Muhaddits atau Hafizh. Terlebih Amir al Mukminin fi al Hadits, Ibn Hajar al 'Asqalani telah menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Ibn Abi ad-Dunya [dalam kitab al 'Iyal, h. 144] meriwayatkan dari al Hajjaj, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang telah melihat Sa’id ibn Jubayr sedang menuliskan beberapa ta’widz untuk orang". Dalam riwayat al Bayhaqi [ as-Sunan al Kubra, Jilid 9, hlm. 351] orang yang telah melihat Sa’id ibn Jabir itu disebutkan namanya yaitu Fudhail.

Dalam kitab Masa-il al Imam Ahmad [h. 260] karya Abu Dawud as-Sijistani sebagai berikut:
“Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata: Aku melihat tamimah (hirz) yang terbuat dari kulit terkalungkan pada leher putera Ahmad yang masih kecil”.

Juga telah memberitakan kepada kami Abu Bakr berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud: Aku telah mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang menulis al Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan diminumnya? Ahmad berkata: “Saya berharap itu tidak masalah”.

Abu Dawud berkata: Aku mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Ahmad: Menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan dibuat mandi?, beliau menjawab: “Saya tidak mendengar kalau hal itu dilarang”.

Dalam kitab Ma’rifah al ‘Ilal wa Ahkam ar-Rijal [ hlm. 278-279] dari Abdillah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: telah meriwayatkan kepadaku ayahku, ia berkata: telah meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Zakariya ibn Abi Za-idah, ia berkata: telah mengkabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi berkata: “Tidak masalah mengalungkan hirz dari al Qur’an pada leher seseorang”.

Abdullah ibn Ahmad [dalam Masa-il al Imam Ahmad karya puteranya Abdullah, h. 447] berkata: “Saya melihat ayahku menuliskan bacaan-bacaan (hirz/at-ta’awidz) untuk orang-orang yang dirasuki Jin, serta untuk keluarga dan kerabatnya yang demam, ia juga menuliskan untuk perempuan yang sulit melahirkan pada sebuah tempat yang bersih dan ia menulis hadits Ibn Abbas, hanya saja ia melakukan hal itu ketika mendapatkan bala dan aku tidak melihat ayahku melakukan hal tersebut jika tidak ada bala. Aku juga melihat ayahku membaca ta’widz pada sebuah air kemudian diminumkan kepada orang yang sakit dan disiramkan pada kepalanya, aku juga melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah lalu diletakkan pada mulutnya dan mengecupnya, aku juga sempat melihat ayahku meletakkan rambut Rasul tersebut pada kepala atau kedua matanya kemudian dicelupkan ke dalam air dan air tersebut diminum untuk obat, aku melihat ayahku mengambil piring Rasul yang dikirim oleh Abu Ya’qub ibn Sulaiman ibn Ja’far kemudian mencucinya dalam air dan air tersebut ia minum, bahkan tidak hanya sekali aku melihat ayahku minum air zamzam untuk obat ia usapkan pada kedua tangan dan mukanya”.

Dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah [ 5/39-40] tersebut sebagai berikut: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Ali ibn Mushir dari Ibn Abi Laila dari al Hakam dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibn Abbas berkata: Jika seorang perempuan sulit melahirkan maka tulislah dua ayat ini dan beberapa kalimat pada selembar kertas kemudian basuh (celupkan dalam air) dan minumlah:

"بسم الله لا إله إلا هو الحليم الكريم , سبحان الله رب السموات السبع ورب العرش العظيم ، (كأنهم يوم يرونها لم يلبثوا إلا عشية أو ضحاها ) [سورة النازعات / 46] (كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ) [الأحقاف / 35] (فهل يهلك إلا القوم الفاسقون) [سورة الأحقاف / 35]"

Dalam kitab al Ausath fi as-Sunan wa al Ijma’ wa al Ikhtilaf , Juz 1 h. 103-104 karya Ibn Mundzir disebutkan bolehnya memakai at-ta’widz (hirz).

Dalam kitab al A-daab asy-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al Hanbali juga disebutkan bahwa Imam Ahmad menulis ta’widz untuk seorang perempuan yang ketakutan di rumahnya, membuat hirz untuk orang yang demam. Imam Ahmad juga membuat hirz untuk wanita yang akan melahirkan dan meriwayatkannya dari Ibn Abbas dan Ibn as-Sunni meriwayatkannya dari Rasulullah dalam 'Amal al Yaum wa al-laylah”.

Al Bayhaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al Kubra kebolehan memakai hirz dari beberapa ulama Tabi'in, di antaranya Sa’id ibn Jubayr, Atha’. Bahkan Sa'id ibn al Musayyab memerintahkan agar dikalungkan ta'widz dari al Qur'an. Kemudian al Bayhaqi berkata: “ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa (bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca ruqa dari ayat-ayat al Qur'an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah semata maka hal itu tidak masalah, wabillah at-taufiq”.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

" إن الرقى والتمائم والتولة شرك " رواه أبو داود

Maknanya : “Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik” (H.R. Abu Dawud)

Yang dimaksud bukanlah tama-im dan ta’awidz yang berisikan ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tamaim tersebut dengan sendirinya menjaga mereka dari 'ayn atau yang lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik.
Demikian juga ruqa yang terdapat dalam hadits tersebut, karena ruqa ada dua macam ; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.

Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan syetan. Dan sudah maklum diketahui bahwa setiap kabilah arab memiliki thaghut yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari mereka kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut kemudian orang tersebut disembah. Ruqa yang syirik adalah ruqa jahiliyyah seperti ini atau yang semakna dengannya.

Sedangkan ruqa yang syar’i yaitu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. umat Islam pada masa sahabat memakai ruqa syar’i tersebut untuk menjaga diri dari 'ayn dan yang lainnya dengan mengalungkan ruqa-ruqa tersebut pada leher mereka. Ruqa syar’i ini terdiri dari ayat-ayat al Qur’an atau dzikir.[]

Sekilas Perkembangan Tarekat Dan Tasawuf Di Indonsia (Supaya Kita Paham Bahwa Ulama Ahlussunnah Adalah Kaum Sufi Sejati)


Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm.
Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran.

Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji.

Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri adalah di antara hal yang perlu kita pelajari.

Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?!

Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai --terutama akidah-- ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para pendakwahnya.

• • •

Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini.

Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.

• • •

Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah.

Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.

Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut.

• • •

Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.

Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali songo di tanah Nusantara.

• • •

Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan “Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya.

Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini.

• • •

Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar “Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”.

Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga Rasulullah.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.

Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.

• • •

Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.

Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.